BOLINGGO.CO – Sumenep, selain disebut kota keris juga dikatakan sebagai kota religi sebab di dalamnya terdapat banyak berdiri pondok pesantren dan lembaga pendidikan islam sehingga ketokohan para ulama dalam dunia sosial memberikan pengaruh signifikan, dalam dunia politik dianggap mempunyai dorongan pengaruh lebih dominan, bahkan hal tersebut membentuk istilah lama di kalangan sosial bahwa “Calon pemimpin Sumenep harus dari trah darah biru/Kyai”, meskipun hal tersebut dapat dipatahkan dg terpilihnya Ahmad Fauzi dari kalangan biasa, pengusaha.
Beberapa periode sebelumnya seperti Kiai Busyro dan Kiai Ramdhan memang terpilih dari trah Kyai baik itu Bupati atau wakilnya, pun rival calon yang tidak terpilih. Hal ini menghembuskan kepercayaan kuat pada masyarakat bahwa tampuk kepemimpinan Sumenep pasca runtuhnya keraton harus dipegang oleh keturunan darah biru agar lancar dan otomatis hal tersebut akan mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat.
Di Sumenep, kepemimpinan dinasti darah biru memang menjadi isu yang kontroversial dan sensitif dalam konteks kepemimpinan Bupati. Istilah ini merujuk pada fenomena di mana keluarga dengan nasab terpandang (bangsawan, kyai, priyayi) atau kerabat dekat seorang bupati secara berurutan memegang posisi kepemimpinan yang sama. Kelaziman yang berulang-ulang inilah yang secara terstruktur membentuk asumsi publik.
Pasca kemerdekaan Indonesia saat kepemimpinan keraton digantikan otoritas otonomi daerah seperti Bupati dan seterusnya, tercatat pemegang kekuasaan memang hasil silang keturunan keraton dan darah biru kyai. Tentunya dinasti darah biru mencerminkan konsolidasi kekuasaan politik di tangan satu kelompok kecil saja. Dalam praktiknya, sentralisasi kekuasaan semacam ini dapat berdampak pada pengaruh yang dominan dalam pengambilan keputusan, mempengaruhi jalannya pemerintahan, dan membatasi pluralitas dalam kepemimpinan daerah yang seharusnya menganut sistem demokrasi. Jalur perputaran politik dinasti dapat menciptakan lingkaran tertutup yang sulit ditembus oleh individu atau kelompok lain yang ingin memasuki gelanggang politik lokal.
Fenomena dinasti darah biru juga sering kali menumbuhkan kekhawatiran akan kurangnya transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam pemimpin. Kekhawatiran muncul terkait cara dinasti tersebut mengelola keuangan publik, menyalahgunakan sumber daya, atau mengabaikan aspirasi masyarakat yang beragam karena pengaruh yang sentralistik. Kekhawatiran ini tentunya bisa merusak legitimasi pemerintahan dan berkurangnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokratis.
Implikasi jangka panjang terhadap demokrasi lokal juga rawan terjadi pada praktik dinasti darah biru ini. Walaupun demokrasi menghargai arus perputaran kekuasaan dan perwakilan yang adil, politik dinasti darah biru bisa membatasi inovasi perspektif dan solusi yang dibawa oleh pemimpin yang berbeda atau lahir dari kalangan masyarakat biasa. Hal tersebut pasti secara perlahan akan mereduksi inovasi dalam kebijakan publik dan menghambat pembaharuan yang diperlukan untuk mengatasi dinamika sosial dan ekonomi yang terus berubah.
Secara sosial dan psikologis masyarakat setempat, dampak dari politik dinasti darah biru adalah hilangnya kepercayaa pada asas demokrasi. Praktik yang berulang dari pola tersebut akan menghasilkan polarisasi sosial dimana sebagian merasa ketidakpuasan, apatis, atau alienasi sebab pilihannya dalam proses demokrasi tidak didengar atau dihormati sebagian lagi akan mengamini seperti asumsi publik yang disebut di awal.
Politik Darah Biru
Istilah politik ini berasal dari keyakinan asumsi publik bahwa “darah biru” atau keturunan dari keluarga bangsawan dan kyai menjamin keunggulan atau hak untuk memegang kekuasaan.
Dari sisi sejarah, istilah politik darah biru pertama kali muncul pada abad ke-19 berkaca pada kondisi ketika masyarakat Eropa masih memegang teguh kepercayaan bahwa kelahiran bangsawan atau keturunan dari keluarga bangsawan menentukan status sosial dan kemampuan politik seseorang. Dalam hal ini, gelar bangsawan atau kekuasaan politik kepada keturunan diwariskannya secara otomatis dan dianggap sebagai bentuk legitimasi yang kuat melalui nasab masing-masing.
Secara kewenangan, citra legitimasi dapat memberikan kewenangan yang mendalam bagi penguasa atau pemimpin yang mewarisi kekuasaan dari keluarga mereka sehingga memberikan kesan bahwa kepemimpinan tersebut memiliki otoritas yang tidak terbantahkan karena dianggap sebagai hak dari garis keturunan yang mulia. Dalam konteks Sumenep ini memang terjadi sejak awal pergantian kepemimpinan keraton ke otonomi daerah Republik Indonesia, dimana Bupati dari masa ke masa masih dipegang oleh keturunan keraton dan bangsa kyai.
Dalam lingkungan modern, masyarakat cenderung lebih sadar dan skeptis terhadap politik darah biru. Ada keinginan untuk mengganti sistem tersebut dengan sistem yang lebih demokratis dan inklusif yang menekankan standar pemilihan pemimpin berdasarkan kualifikasi dan visi, misi, dan kecakapannya yang luas bukan hanya karena faktor keturunan atau bantuan nasab.
Sebagai contoh politik darah biru di berbagai negara seperti monarki konstitusional dan negara Otoriter.
Kuasa Uang
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pergulatan kontestasi politik negara kita memang dibayang-bayangi oleh politik transaksional (uang) sejak dulu sehingga hal itu berpengaruh terhadap objektifitas kehendak masyarakat dalam menentukan hak pilihnya. Demikian tidak jauh beda dengan kondisi kontestasi politik di Sumenep di beberapa dekade ini. Sehingga ada asumsi yg begitu melekat di pikiran publik “Jika tidak punya uang, jangan maju berkandidat” ataupun secara natural kandidat yang tidak memiliki amunisi lebih untuk ‘membeli’ suara akan tersingkir dengan sendirinya.
Kuasa uang dalam kontes politik merujuk pada akses istimewa yang dimiliki oleh individu atau kelompok yang memiliki sumber daya finansial yang besar untuk memberi pengaruh terhadap proses politik dan keputusan publik. Fenomena ini akan mudah terlihat dalam setiap momentum pemilihan umum dimana kandidat, partai politik, atau kelompok kepentingan menghabiskan jumlah uang besar untuk kampanye dan meraup suara publik.
Peran yang signifikan ini terjadi sebab uang sangat memungkinkan kandidat untuk mengkomunikasikan keinginan mereka kepada pemilih potensial. Lebih dari itu, dana dapat digunakan untuk iklan televisi, radio, media sosial, spanduk, baliho, membayar buzzer media sosial dan kegiatan lain yang meningkatkan popularitas dan eksposur kandidat. Tanpa suntikan dana yang memadai, kontes ini akan menyulitkan kandidat untuk bersaing di arena politik yang kompetitif.
Namun meskipun begitu, bahaya kuasa uang juga dapat mengarah pada praktik korupsi dan nepotisme. Kandidat atau partai yang disuntik oleh dana besar akan memiliki akses lebih memungkinkan untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mendapatkan akses yang lebih mudah ke sumber daya pemerintah. Ini dapat mengorbankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan politik.
Begitu pun dalam partisipasi publik, pengaruh kuasa uang dapat mengintervensi motivasi warga untuk terlibat dalam kontestasi politik, terutama jika praktik terjadi secara berulang maka masyarakat akan merasa bahwa sistem politik sudah didominasi oleh kepentingan finansial daripada kepentingan kemaslahatan umat seperti yang digembor-gemborkan. Ini dapat mengurangi responsivitas politik terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Paling miris jika tidak disogok dengan uang maka tidak akan menggunakan hak pilihnya.
Tak heran dalam beberapa negera telah menerapkan regulasi dan batasan terhadap pengeluaran kampanye, serta mengharuskan kebijakan laporan keuangan yang transparan dari kandidat dan partai politik untuk mengatasi masalah ini. Aturan semacam itu bertujuan untuk membatasi pengaruh kuasa uang yang berlebihan dalam politik dan memastikan bahwa proses politik lebih adil dan demokratis tidak bercampur perilaku koruptif.
Maka dari itu, telah jelas bahwa kuasa uang dalam gelanggang politik akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap dinamika politik, sistem demokrasi, keadilan, dan partisipasi publik. Padahal jika digunakan secara sehat, uang dapat memfasilitasi kompetisi yang adil dan memungkinkan komunikasi efektif antara kandidat dan pemilih sebab politik gelap mata yang tidak terkendali dapat mengancam prinsip-prinsip inti dari sistem politik yang adil dan demokratis.