banner 728x90
banner 728x90
News

Gelar Bedah Buku JI Untold Story, DEMA FUPI Komitmen Perkuat Narasi Perdamaian

×

Gelar Bedah Buku JI Untold Story, DEMA FUPI Komitmen Perkuat Narasi Perdamaian

Sebarkan artikel ini
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga menggelar acara bedah buku bertajuk “JI Untold Story”./ bolinggo.co

YOGYAKARTA,- Dalam upaya memperkuat narasi perdamaian dan menumbuhkan kesadaran kritis di kalangan mahasiswa, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga menggelar acara bedah buku bertajuk “JI Untold Story”.

Kegiatan yang berlangsung di Teatrikal Fakultas pada Selasa (3/6/2025) itu menghadirkan sejumlah narasumber kompeten untuk mengupas sisi lain dari sejarah Jamaah Islamiyah, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial-politik di Indonesia.

Hadir dalam acara itu, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Robby Habiba Abror, Wakil Dekan I, Saifuddin Zuhri, Wakil Dekan II, Munawwar Ahmad, Wakil Dekan III, Ahmad Salehuddin, Pakar Terorisme, Solahuddin, Para Wijayanto yang juga mantan Amir Jamaah Islamiyah serta Khoriul Anam yang mewakili Kepala Densus 88 Anti Teror selaku penulis buku JI Untold Story serta diikuti oleh puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas.

Khoirul Anam membuka sesi dengan menyampaikan bahwa JI Untold Story bukan sekadar dokumentasi sejarah, tetapi juga bentuk edukasi strategis tentang bahaya radikalisme dan pentingnya pendekatan humanis dalam penanganan terorisme.

Ia menyebut bahwa transformasi JI yang berpuncak pada pembubaran diri tahun 2024 adalah capaian penting yang patut dipahami, bukan dihakimi.

“UIN Sunan Kalijaga, khususnya FUPI, menjadi tempat yang tepat karena konsistensinya dalam membina tradisi Islam yang inklusif, toleran, dan progresif,” pungkas Khoirul Anam saat menyampaikan pemaparannya.

Sementara itu, Munawwar Ahmad yang juga sebagai pembedah acara itu menyampaikan bahwa, strategi kontra-terorisme yang diusung Densus 88 tidak berbasis kekerasan, melainkan melalui rehabilitasi, edukasi, dan reintegrasi sosial berbasis cultural strategic approach. Ia juga memperkenalkan gagasan Neo-Radikalisme, yakni pendekatan baru membaca kecenderungan ekstremisme melalui sudut pandang neurosains dan psikologi spiritual.

“Melalui buku ini, konsistensi pendekatan berbasis rehabilitasi, edukasi dan reintegrasi sosial yang dilakukan Densus 88 dalam menangani aksi terorisme di Indonesia terbukti ketara. Selain itu, sebenarnya ada konsep lain yang juga perlu diadopsi aparat yakni Neo-Radikalisme yang menekankan sudut pandang neurosains dan psikologi spiritual,” ujar Munawar.

Menjawab rasa penasaran audiens tentang kesungguhan JI dalam pembubaran diri, Solahudin memaparkan tiga indikator utama yang harus dipenuhi organisasi untuk dianggap benar-benar mengalami transformasi. Pertama, perubahan ideologi yang meninggalkan kekerasan dan intoleransi; kedua, perubahan perilaku nyata yang menghindari tindakan kekerasan; dan ketiga, restrukturisasi organisasi yang transparan dan terbuka.

Baca Juga:  Kenalkan Produk Herbal, BPOM Adakan Wellness Festival 2024

“Dari ketiga indikator itu, JI sudah menunjukkan komitmen kuat untuk berubah. Bahkan transformasi ini sudah sampai ke kurikulum pesantren yang berafiliasi, menunjukkan bahwa perubahan tidak hanya di permukaan,” ujar Solahudin optimis.

Ia juga menegaskan bahwa potensi kegagalan transformasi sangat kecil karena perubahan dilakukan secara menyeluruh dan bertahap.

Ustaz Para Wijayanto memberikan gambaran reflektif tentang perjalanan panjang JI hingga mencapai titik kesadaran untuk membubarkan diri.

Ia memaparkan empat titik balik kritis yang menggugah kesadaran kolektif organisasi tersebut: praktik ghuluw atau ekstrem dalam mengkafirkan pihak lain, seperti anggapan Indonesia sebagai thagut dan aparatnya kafir; kejahatan teror yang menimbulkan korban jiwa dan luka parah; radikalisme yang ingin menerapkan hukum syariat secara kaffah tanpa kompromi; dan kekerasan brutal sebagai simbol eksistensi organisasi, termasuk aksi mutilasi di Poso.

“Kesadaran bahwa perilaku seperti ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi merupakan titik awal pembubaran JI,” tegas Ustaz Para.

Dari titik ini, lahirlah konsep At-Tathoruf, yang mengkaji ulang batas minimal dan maksimal penerapan negara Islam, dengan kesimpulan bahwa Indonesia masih dalam batas minimal dan tidak seharusnya dipaksakan perubahan radikal.

Diskusi yang berlangsung hangat ini tidak hanya menyajikan narasi akademis dan empiris, tetapi juga membuka ruang refleksi bagi mahasiswa untuk memahami kompleksitas deradikalisasi yang tidak bisa dipandang sebagai masalah hitam-putih.

Pendekatan humanis dan dialogis yang dijalankan Densus 88 dan mitra terkait menjadi sorotan penting sebagai model deradikalisasi yang berkelanjutan dan berwawasan kemanusiaan.

Ratusan mahasiswa yang hadir menunjukkan antusiasme tinggi, banyak yang aktif bertanya dan berdiskusi hingga sesi akhir.

Momentum bedah buku ini diharapkan menjadi titik awal bagi pengembangan literasi kritis dan pemahaman lebih mendalam tentang upaya deradikalisasi di Indonesia, khususnya dalam konteks perubahan organisasi radikal seperti JI.