PROBOLINGGO,- Sejarah panjang Probolinggo bermula dari masa kejayaan Majapahit. Pada era pemerintahan Prabu Radjasanagara atau Sri Nata Hayam Wuruk (1350-1389), wilayah ini dikenal dengan nama Banger, diambil dari sungai yang mengalir di tengah permukiman kecil.
Catatan mengenai Banger muncul dalam karya penting kerajaan, Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Dari sinilah diketahui bahwa Banger kala itu hanyalah pedukuhan kecil di bawah Akuwu Sukodono.
Memasuki perkembangan politik Majapahit, wilayah Banger ikut mengalami perubahan. Awalnya hanya berupa permukiman kecil di muara sungai, Banger kemudian berkembang menjadi Pakuwon yang dipimpin seorang Akuwu.
Ketika kekuasaan beralih kepada Bre Wirabumi (Minakjinggo) dari Blambangan, Banger menjadi wilayah perebutan. Bahkan, daerah ini sempat menjadi arena konflik besar Perang Paregreg antara Bre Wirabumi dan Prabu Wikramawardhana.
Memasuki masa VOC, situasi kembali berubah drastis. Pada tahun 1743, seluruh wilayah di timur Pasuruan termasuk Banger diserahkan kepada VOC berdasarkan perjanjian dengan Sri Susuhunan Pakubuwana II.
Untuk menjalankan pemerintahan, VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati pertama Banger pada tahun 1746. Ia ditempatkan di Kebonsari Kulon dan dikenal sebagai keturunan dari keluarga bangsawan Pasuruan.
Namun, politik adu domba VOC kembali memainkan perannya. Kyai Djojolelono dipengaruhi untuk menumpas Panembahan Semeru, keturunan Untung Suropati. Setelah menyadari kekhilafannya, ia menolak tunduk pada VOC dan memilih meninggalkan istana pada tahun 1768.
Sebagai penggantinya, VOC menunjuk Tumenggung Djojonegoro, putra Bupati Surabaya, sebagai Bupati kedua Banger. Rumah kabupaten dipindahkan ke Benteng Lama dan pemerintahan kembali berjalan.
Di masa Djojonegoro, Banger berkembang pesat. Penduduknya bertambah dan fasilitas umum mulai dibangun. Salah satu peninggalannya adalah berdirinya Masjid Jami’ sekitar tahun 1770.
Pada periode inilah perubahan besar terjadi. Karena kedekatannya dengan masyarakat, Tumenggung Djojonegoro mendapat sebutan Kanjeng Djimat. Ia kemudian mengubah nama Banger menjadi Probolinggo pada 1770.
Makna Probolinggo sendiri berasal dari kata Probo (sinar) dan Linggo (tugu/tongkat). Nama ini diyakini merujuk pada simbol cahaya seperti meteor yang dianggap sebagai pertanda.
Setelah wafat, Kanjeng Djimat dimakamkan di area pasarean belakang Masjid Jami’, sementara Kyai Djojolelono dimakamkan di Sentono yang hingga kini dianggap keramat oleh warga setempat.
Perjalanan panjang inilah yang mengantarkan Banger berubah menjadi Probolinggo, kota bersejarah dengan warisan budaya yang masih terasa hingga hari ini.***















