BOLINGGODOTCO,- Hari Raya Yadnya Kasada, juga dikenal sebagai Pujan Kasada, merupakan upacara suci tahunan suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur.
Perayaan ini adalah bentuk persembahan sesajen kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Batara Brahma, dewa api.
Tradisi ini tidak hanya menjadi lambang spiritualitas, tetapi juga warisan budaya yang terus hidup dan dijaga oleh masyarakat Tengger hingga kini.
Dari “Riyaya” Menjadi “Yadnya”
Sebelum masyarakat Tengger secara resmi menganut agama Hindu Dharma, upacara ini dikenal dengan sebutan Riyaya Kasada. Dalam perjalanannya, istilah Yadnya mulai dipakai seiring dengan pengaruh Hindu Dharma yang berkembang di kawasan ini.
Hari Raya Kasada terdiri atas dua bagian penting yaitu Labuh Kasada, yang dilaksanakan di kawah Gunung Bromo, dan Pujan Kasada, yang dilakukan sehari setelahnya.
Upacara ini selalu jatuh pada tanggal 14 bulan Kasada, bulan kedua belas dalam penanggalan Tengger. Pada hari ini, masyarakat Tengger mempersembahkan sesajen berupa hasil bumi, ternak, dan barang-barang lain ke kawah Gunung Bromo sebagai tanda syukur dan penghormatan kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur yang dikenal sebagai Dewa Kusuma.
Legenda Rara Anteng dan Jaka Seger
Asal-usul Kasada dikaitkan dengan legenda pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Cerita ini telah dikenal luas melalui media massa dan internet, walaupun versi aslinya yang dibacakan secara turun-temurun oleh Kepala Dukun Tengger dalam upacara Kasada tidak menyebutkan keterkaitan langsung dengan Kerajaan Majapahit maupun status kebrahmanan Jaka Seger.
Dikisahkan, Rara Anteng dan Jaka Seger yang lama tidak memiliki anak memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai keturunan.
Permohonan mereka dikabulkan, dengan syarat bahwa anak terakhir dari keturunan mereka harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Pasangan ini akhirnya memiliki 25 anak. Namun, ketika saatnya tiba, mereka tidak tega menyerahkan anak bungsu mereka, Raden Kusuma, kepada kawah.
Akibat pengingkaran janji tersebut, Gunung Bromo mengamuk. Dalam prahara yang melanda, Raden Kusuma akhirnya terhisap ke dalam kawah, dan dari dalamnya terdengar suara gaib.
“Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita demi keselamatan kalian semua. Hiduplah damai dan sembahlah Sang Hyang Widhi. Setiap bulan Kasada pada hari ke-14, adakanlah sesaji di kawah Gunung Bromo.”
Sejak saat itulah, masyarakat Tengger setia melaksanakan upacara Kasada setiap tahunnya.
Tempat Ibadah dan Perubahan Tradisi
Berbeda dari umat Hindu di Bali atau India yang memiliki pura dan candi sebagai pusat peribadatan, suku Tengger secara tradisional melakukan ibadah di tempat-tempat sakral seperti punden, sanggar, pedanyang, dan poten (tanah lapang suci di kaki Gunung Bromo).
Namun setelah adopsi resmi ajaran Hindu Dharma, tiap desa di kawasan Tengger membangun pura sebagai pusat kegiatan keagamaan, biasanya berada di bawah sanggar agung desa.
Meski demikian, poten tetap menjadi pusat upacara Kasada karena dianggap sebagai tempat yang paling suci dan berdekatan dengan kawah, tempat berlangsungnya puncak upacara.
Yadnya Kasada bukan sekadar ritual persembahan, ia adalah cermin dari keteguhan iman, warisan leluhur, serta bentuk harmonisasi antara manusia, alam, dan Tuhan.
Di tengah kemajuan zaman, masyarakat Tengger tetap menjaga tradisi ini dengan khidmat, menjadikannya salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang hidup dan lestari hingga kini.