banner 728x90
banner 728x90
Kabar Pro

Sebut Sebagai Perbudakan Modern, Sarbumusi Soroti Upah Murah di Probolinggo

×

Sebut Sebagai Perbudakan Modern, Sarbumusi Soroti Upah Murah di Probolinggo

Sebarkan artikel ini
Ketua DPC K-Sarbumusi, Babul Arifandhie, kritik praktik upah murah yang dilakukan oleh PT. Klasemen./ Foto: Ist, bolinggo.co

PROBOLINGGO,- Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Kabupaten Probolinggo angkat suara terkait dugaan praktik upah murah yang dilakukan oleh PT. Klasemen, sebuah perusahaan pengolahan kayu di wilayah Pajarakan.

Ketua DPC K-Sarbumusi, Babul Arifandhie, menilai sistem pengupahan yang diterapkan perusahaan tersebut telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya mengenai hak pekerja untuk memperoleh penghasilan yang layak.

Scrol Kebawah Untuk Baca
banner 728x90
ADVERTORIMENT

“Setiap pekerja berhak atas penghasilan yang layak, perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlakuan yang manusiawi. Kalau upahnya tidak memenuhi standar minimum, ini sudah bentuk pelanggaran serius,” tegas Babul, Sabtu (25/10/2025).

Lebih lanjut, Babul menyebut kondisi di lapangan jauh dari kata layak. Selain upah yang berada di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Probolinggo sebesar Rp 2.989.407, para pekerja juga disebut tidak mendapatkan fasilitas dasar seperti jaminan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, bahkan air minum yang disediakan pun tidak layak konsumsi.

“Air minum saja diambil dari tong kotor. Ini tidak manusiawi. Dengan beban kerja tinggi tapi upah kecil, ini sama saja perbudakan modern,” kecamnya.

Sarbumusi pun mendesak pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Probolinggo agar segera turun tangan menangani persoalan tersebut. Menurutnya, sudah pernah ada sidak dari dinas terkait, namun hingga kini belum ada perbaikan berarti.

Baca Juga:  Konter Ponsel di Maron Kidul Probolinggo Dilalap Api, Diduga Akibat Korsleting Listrik

“Beberapa waktu lalu saya dengar sudah ada sidak dari Disnaker dan DPRD. Tapi kenapa kondisinya masih sama? Masak negara kalah dengan segelintir orang?” sindir Babul.

Sementara itu, salah satu pekerja PT. Klasemen yang enggan disebut namanya menjelaskan bahwa sebagian besar buruh di perusahaan tersebut berstatus harian lepas tanpa surat lamaran kerja resmi. Sistem penggajian dilakukan berdasarkan masa kerja.

Pekerja yang baru bergabung menerima Rp 58 ribu per hari, yang sudah bekerja lebih dari lima tahun mendapat Rp 73 ribu, dan bagi yang bekerja di atas sepuluh tahun menerima Rp 84 ribu per hari. Jika dihitung selama satu bulan penuh, upah tertinggi yang diterima buruh hanya sekitar Rp 2,52 juta, di bawah standar UMK.

“Kami disuruh tanda tangan kesepakatan kerja, tapi tidak dilibatkan dalam pembuatannya. Semua sudah ditentukan perusahaan,” ujarnya.

Kasus ini menjadi sorotan tajam dari kalangan buruh, karena dinilai mencerminkan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di daerah. Sarbumusi menegaskan akan terus mengawal persoalan ini hingga ada keadilan bagi para pekerja.***