banner 728x90
banner 728x90
Nasional

NU dan Muhammadiyah Kompak Tolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

×

NU dan Muhammadiyah Kompak Tolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Sebarkan artikel ini
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

JAKARTA,- Rencana pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai penolakan keras dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Dari kalangan NU, penolakan tegas datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menilai, pemberian gelar tersebut tidak pantas mengingat sejarah kelam yang dialami para kiai dan warga NU di masa Orde Baru.

Scrol Kebawah Untuk Baca
banner 728x90
ADVERTORIMENT

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Banyak kiai yang masuk ke dalam sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh pasang malah dirobohkan oleh bupati-bupati,” tegas Gus Mus, dikutip Jumat (7/11/2025).

Ia juga menyinggung pengalaman pribadi keluarganya yang menjadi korban tekanan politik pada masa itu.

“Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkapnya.

Tak berhenti di situ, Gus Mus juga menceritakan bagaimana KH Sahal Mahfudh, ulama besar asal Pati, menolak ajakan menjadi penasihat Golkar Jawa Tengah.

“Kiai Sahal didatangi pengurus Golkar Jateng, diminta jadi penasehat. Tapi beliau menolak, dan saya menyaksikan sendiri,” tuturnya.

Menurut Gus Mus, banyak kiai NU yang berjasa besar bagi bangsa, namun keluarganya justru enggan mengajukan gelar pahlawan.

“Alasannya sederhana, supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan rekomendasi (pemberian gelar Soeharto), berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.

Baca Juga:  Irwasum Polri Tegaskan Rekrutmen Personel Harus Semakin Ketat Menghadapi Tantangan Dinamis

Muhammadiyah: Pahlawan sejati bukan yang berkuasa lama

Dari pihak Muhammadiyah, penolakan disampaikan oleh Usman Hamid, pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ia menilai bahwa seorang pahlawan nasional seharusnya memiliki integritas moral dan keberanian untuk menegakkan kebenaran hingga akhir hayatnya.

“Seorang pahlawan nasional harus teguh pada nilai kebenaran dan keberanian moral. Kalau dia meninggal dunia dalam status tersangka atau terlibat kejahatan seperti korupsi, pelanggaran HAM, atau penipuan, sulit dianggap pahlawan,” ujar Usman.

Ia juga mengingatkan bahwa menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto sempat diperiksa atas dugaan korupsi besar-besaran.

“Soeharto meninggal dunia ketika setengah diadili oleh pengadilan karena kasus korupsi. Bahkan di Asia Tenggara, dia dianggap sebagai pemimpin paling buruk di dunia,” katanya.

Menurut Usman, ukuran kepahlawanan bukan lamanya seseorang berkuasa, melainkan keteguhan moral dan pengorbanan bagi rakyat.

“Pahlawan sejati bukan yang berkuasa lama, melainkan yang berani menegakkan moral dan berkorban untuk rakyat. Bagaimana bisa Soeharto disandingkan dengan Gus Dur atau Marsinah?” tutupnya.

Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ini memang tengah menjadi perdebatan hangat di publik. Banyak kalangan menilai, penetapan gelar tersebut harus mempertimbangkan rekam jejak sejarah secara jujur, termasuk aspek pelanggaran HAM dan korupsi yang melekat pada masa pemerintahannya.***