JAKARTA,- Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh, mengingatkan pejabat publik agar lebih berhati-hati saat beraktivitas di media sosial. Ia menegaskan bahwa ruang digital bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi ruang publik yang menuntut tanggung jawab moral.
Dalam Diskusi Publik “Fatwa Bermuamalah di Media Sosial pada Era Post Truth” yang digelar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asrorun menyoroti maraknya unggahan yang dibuat tanpa verifikasi.
“Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya atas tindakannya, tetapi juga atas dampak dari komunikasi publiknya,” ujarnya, dikutip Rabu (19/11/2025).
Asrorun menilai fenomena viral sering kali memicu keputusan tergesa-gesa. Ia mencontohkan inspeksi mendadak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke sebuah perusahaan air minum yang dipublikasikan ke media sosial tanpa klarifikasi awal, sehingga memunculkan persepsi keliru.
“Ini dhala fa dhala sesat dan menyesatkan. Publik tidak diberi konteks yang utuh,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017, yang melarang penyebaran informasi yang tidak pasti, hoaks, fitnah, maupun ujaran kebencian.
Sementara itu, Dirjen Komunikasi Publik dan Media Kemkomdigi RI, Fifi Aleyda Yahya, menekankan bahwa literasi digital kini harus mencakup aspek moral. Menurutnya, setiap unggahan membawa konsekuensi sosial dan hukum.
“Jempol kita bisa menjadi alat kebaikan atau sumber kerusakan. Ruang digital harus tetap menjaga kualitas demokrasi dan kemanusiaan,” ujarnya.
Fifi menegaskan pentingnya kerja bersama antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat untuk menciptakan ruang digital yang sehat dan bertanggung jawab.
Diskusi publik tersebut dihadiri akademisi, mahasiswa, dan praktisi komunikasi. Para peserta berharap kegiatan ini dapat memperkuat pemahaman etika bermedia sosial, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh di ruang publik.***















