JEMBER,- Di tengah konflik Iran-Israel yang menyebabkan lonjakan harga minyak, gangguan rantai pasok, dan pelemahan rupiah, ekspor edamame Indonesia tetap menunjukkan ketahanan.
Komisaris PT Mitratani Dua Tujuh, Mahendra Utama, menyebut krisis global justru menjadi momentum bagi industri edamame untuk tumbuh.
“Dengan permintaan global yang tetap tinggi, edamame bukan hanya komoditas ekspor, tetapi representasi ketangguhan ekonomi desa,” ujarnya, Jumat (20/6/2025).
Meski biaya produksi naik akibat pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak, pola kemitraan dengan petani lokal mampu menekan biaya hingga 15 persen. Pasar Jepang menyerap 7.800 ton edamame per tahun, dan permintaan dari Timur Tengah naik 20 persen.
Sejak 2023, Mitratani juga mengembangkan pasar ke India, UEA, dan Eropa. “Pasar global kini menuntut produk yang tak hanya berkualitas, tapi juga hijau. Kami menjawabnya dengan langkah konkret,” kata Mahendra terkait rencana pembangunan pembangkit surya di kawasan industri ekspor Jember.
Melalui kemitraan dengan 200 BUMDes, produksi meningkat dari 6.000 menjadi 13.000 ton per tahun. Selain ekspor, hilirisasi edamame juga digarap, termasuk produksi jus edamame (jusme). Perusahaan memperluas lahan tanam menjadi 1.800 hektare dan menggunakan teknologi IQF berstandar internasional.
Mitratani juga mendorong penggunaan Local Currency Settlement (LCS) dan menanam 5.000 pohon aren untuk mendukung ketahanan pangan.
“Ketergantungan pada energi impor dan pasar tunggal adalah kelemahan strategis. Tapi jika kita punya strategi, kolaborasi, dan inovasi, maka dari desa pun kita bisa menaklukkan dunia,” tutup Mahendra.