BOLINGGODOTCO,- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi memberlakukan tarif impor baru terhadap puluhan negara mulai Agustus 2025.
Kebijakan ini diumumkan melalui dua perintah eksekutif terpisah dan berlaku penuh per 7 Agustus, kecuali untuk Kanada yang diberlakukan lebih awal.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi Trump untuk menekan defisit perdagangan AS dan memperkuat sektor manufaktur dalam negeri.
Namun, sejumlah negara dikenakan tarif tinggi di atas 15 persen karena dianggap memiliki defisit perdagangan yang merugikan atau gagal mencapai kesepakatan dagang dengan Washington.
Gedung Putih menyatakan bahwa besaran tarif ditentukan berdasarkan surplus atau defisit perdagangan masing-masing negara terhadap Amerika Serikat. Negara-negara seperti Suriah, Laos, dan Myanmar mendapat beban tarif tertinggi hingga 40 persen.
Kebijakan ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai negara mitra dagang. Perdana Menteri Kanada Mark Carney menyebut langkah AS sebagai “pukulan sepihak” dan mengancam akan mengambil tindakan balasan untuk melindungi ekonomi domestik.
Kanada bahkan dikenai tarif hingga 35 persen untuk produk non-USMCA, dengan alasan keamanan terkait isu fentanyl.
India juga bereaksi keras usai tarif impornya melonjak menjadi 25 persen. Pemerintah India menyebut keputusan Trump tidak masuk akal dan mencerminkan kebuntuan negosiasi di sektor pertanian serta pembelian minyak dari Rusia.
Dampaknya langsung terasa, dengan melemahnya nilai tukar rupee dan memanasnya situasi politik dalam negeri.
Berikut adalah daftar negara yang dikenakan tarif lebih dari 15 persen oleh AS:
- Suriah: 41%
- Laos: 40%
- Myanmar: 40%
- Swiss: 39%
- Irak: 35%
- Serbia: 35%
- Libya: 30%
- Afrika Selatan: 30%
- Bosnia dan Herzegovina: 30%
- Aljazair: 30%
- Kanada: 35%*
- Brunei: 25%
- India: 25%
- Kazakhstan: 25%
- Moldova: 25%
- Tunisia: 25%
- Brasil: 50%*
(*Catatan: Tarif terhadap Kanada dan Brasil diberlakukan dalam konteks isu khusus keamanan dan politik.)
Sementara itu, di dalam negeri, kritik terhadap Trump juga terus berdatangan. Para pakar hukum mempertanyakan dasar legal kebijakan ini yang bersandar pada Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA). Beberapa gugatan hukum disebut tengah bergulir di pengadilan federal.
Dengan pemilu semakin dekat, langkah Trump ini dinilai sebagai strategi populis untuk menggaet pemilih sektor industri, namun sekaligus berisiko memperburuk hubungan dagang global.